Entri yang Diunggulkan

Kamis, 10 September 2015

7 Kesulitan Umum Bagi Para Penulis Pemula





Menulis sudah jadi semacam hobi bagi kebanyakan manusia. Walaupun mereka jarang menyadarinya. Mereka yang suka banget bikin status di media sosial dan mengkritik sebuah wacana di situs web atau pun menyusun diary adalah beberapa contoh dari kebiasaan gemar menulis yang jarang disadari. Memang benar, menulis itu adalah hal menyenangkan yang jarang sekali buat orang bosan dengannya. Soalnya kalau kita nulis, hal yang disebut batas itu bisa ditembus dan tidak dihiraukan sama sekali. Monster dalam dunia fantasi bisa hidup, orang-orang pendiam secara ajaib menyuarakan idenya tanpa malu, mimpi di masa lalu mampu diwujudkan, dan sebagainya. Novelis, cerpenis, blogger, wartawan, dan penulis-penulis lain udah buktiin semua itu.
Yaa, tapi, biar pun menyenangkan, menulis itu bukan sesuatu yang selalu bisa dianggap mudah untuk dilakukan. Terutama bagi mereka yang pengen jadi novelis—seperti saya :3
Melalui banyak pengalaman di dunia nyata, saya pun akhirnya sadar kalau ternyata jalan untuk menjadi penulis terkenal itu sangat sulit untuk ditanjak. Bahkan, perlu dengan perjuangan menyakitkan. Kesulitannya ada di tahap mengerikan.
Dari sini saya ingin berbagi beberapa masalah yang sering sekali saya alami—serta teman-teman pemula lainnya—dalam menjalani hari-hari untuk mencapai puncak sebagai penulis profesional. 
Berikut adalah beberapa kesulitan yang sering sekali dialami penulis amatir, atau tahap awal, yang tidak pernah lepas dari hari-hari kepenulisan mereka (kami) dan tak jarang membuat para penulis amatir mulai berhenti untuk menulis. Masalah ini umum terjadi pada mereka yang menargetkan naskahnya ke penerbit mayor. 


1. Menentukan Topik
 
Tentu saja, dalam merangkai sebuah cerita topik adalah hal terpenting yang harus pertama kali diperhatikan. Tanpa topik yang jelas dan menarik maka suatu cerita tidak akan bisa mendorong keinginan membaca para penikmat tulisan. Hal utama yang harus dilakukan tiap penulis pastinya adalah menentukan topik ceritanya. Ini merupakan tahap awal dari bentuk ide tulisan.
Topik sama seperti bunga. Ada banyak ragam dan bentuknya. Variatif. Karena terlalu banyak terkadang para penulis kebingungan topik apa yang harus dipakai pada cerita mereka. Penulis-penulis awal—seperti saya sendiri—selalu punya kesulitan pada tahap ini—menentukan topik.
Banyak pertimbangan yang dilakukan ketika memikirkan suatu topik. Primernya pada target pasar dan ketenaran topik itu sendiri. Penerbitan di Indonesia sendiri jamak condong kepada topik tentang percintaan dan kehidupan. Hal-hal yang menyangkut keseharian masa remaja, cinta tak terbalas, masa lalu hadir kembali, konflik cinta segi tiga dan bla bla bla bla... adalah topik yang sering diterbitkan. Adalah satu virus penting bagi penerbitan Indonesia untuk memasukkan kisah cinta penuh intrik dan konflik ke dalamnya.
Penulis pemula tidak bisa dengan mudah untuk mengikuti aturan tersebut. Mereka yang lebih suka dengan topik seperti kisah fantasi atau moralitas sukar mendapat persetujuan penerbitan dari penerbit karena tidak cocok. Tentu saja, selain karena masih amatir—alias tidak dikenal—topik yang digunakan pada cerita juga menimpangi tuntutan pasar. Penulis amatir harus paham benar topik seperti apa yang dibutuhkan para pembaca. Poin itu sangat berat untuk dipertimbangkan. 


2. Style Bahasa


Bahasa adalah punca dari jalannya suatu cerita. Penggunaan kalimat dan susunannya akan menentukan ketertarikan para pembaca. Style Bahasa sendiri berperan penting pada ingin atau tidaknya pembaca menengok tulisan seorang penulis. Ada tipe orang yang lebih suka menulis dengan bahasa baku—saya salah satunya—dan ada juga yang lebih suka menulis dengan bahasa gaul atau trendy.
Pemilihan cara menggunakan jenis bahasa adalah satu dari kesulitan besar yang sering dialami para pemula. Katakan, bahasa seperti apa yang lebih enak untuk dibaca? Bahasa baku seperti ini, bahasa gaul dengan dialek 'loe gua', bahasa dengan model ke-Jawa-Jawa-an atau bahasa dengan tambahan bunga-bunga alay? Jika itu saya, saya lebih suka pada penulisan bahasa baku yang teratur dan santai, daripada bahasa gaul atau alay. Menurut saya itu pilihan terbaik dari suatu tulisan. Tapi, tentu saja, semua orang punya pilihannya masing-masing. Ada yang bilang kalau bahasa baku itu terlalu keras dan indirek. Kesannya jadi kaku kalau dibaca. Dan itu tidak cocok pada novel remaja.
Menentukan jenis bahasa pada suatu cerita adalah hal yang sangat perlu dipertimbangkan. Karena itu berpengaruh besar dari menarik atau tidaknya suatu cerita disampaikan. 


3. Kekayaan Diksi


Suatu tulisan tentu saja harus punya variasi kata. Banyak penulis menggunakan konsep assonance dan ritme untuk membuat tulisan mereka jadi lebih menarik dan puitis. Kekayaan jenis kata yang digunakan dalam suatu cerita bisa membuat suatu cerita tidak membosankan. Sebaliknya, jika suatu cerita terlalu banyak menggunakan kata-kata serupa dari tiap paragraf ke paragraf, maka cerita itu bisa saja terlihat sangat tidak variatif dan menjengkelkan. Repetisi adalah penyakit yang jamak terjadi pada tulisan para pemula. Mereka yang tidak memiliki gudang kata masif akan membuat tulisan mereka tampak sangat membosankan. Untuk mulai menulis, seseorang memang perlu hendaknya membaca banyak tulisan terlebih dahulu. Dengan begitu maka akan ada banyak kosa kata yang bisa dipelajari. Sayangnya, para pemula sering melupakan prosedur ini. 


4. Target Halaman

Tiap penerbit punya ketentuan masing-masing dalam memberikan jumlah halaman pada tiap naskah terkirim—umumnya 100-150. Gramedia dan Elex bisa mencapai 200 halaman lebih. Sedangkan Bentang Pustaka minimalnya 200 halaman (untuk novel dewasa). Penulis amatir punya kebiasaan yang disebut dengan 'terbawa suasana'. Saking enaknya menulis mereka pun terlupa kalau mereka telah melebihi halaman yang telah ditentukan. Saya sering menulis bab 1 hingga mencapai halaman 25—hanya untuk bab 1 saja. Itu karena saya terlalu terbawa suasana. Pada akhirnya karena tidak memperhatikan halaman, target akhir cerita pun menjadi kacau karena halamannya termakan terlalu banyak. Umumnya para penulis enerjik—terutama mereka yang suka dengan tema fantasi—merasa kalau 150 halaman itu masih sedikit. Mereka ingin lebih dari itu—saya juga. 200 halaman masih terasa sedikit untuk cerita bertema fantasi. Semua ide dalam kepala ini tidak bisa masuk hanya dengan jumlah halaman seperti itu.
Tapi, jika kita pindah pada pembaca pula, kasusnya akan kontradiktif. Penulis lebih cenderung untuk menulis panjang. Tetapi para pembaca lebih suka dengan cerita dengan jumlah halaman yang tidak terlalu banyak—terutama jika itu para remaja. Jumlah halaman buku yang sering dipilih berkisar pada ±100-300 halaman saja. Remaja di Indonesia tidak terlalu suka dengan buku-buku berhalaman tebal. Untuk menyamai preferensi tersebut, kebanyakan penulis pemula tidak bisa melakukannya. 


5. Penerbit Yang Cocok

Tentu saja, akhir dari sebuah naskah pasti akan menuju ke redaksi sebuah perusahaan penerbitan. Penerbit adalah wadah bagi para penulis agar bisa membukukan cerita mereka. Ada juga penulis yang lebih memilih untuk menerbitkan buku mereka secara mandiri dengan penerbitan secara Indie. Tapi, mayoritas lebih kenal luas dan berharap pada penerbit mayor. Hanya saja, tentu saja, menembus kata 'terbit' ke sana bukalah hal mudah. Apalagi, jika jenis cerita yang penerbitan tersebut inginkan tidak cocok dengan naskah para penulis.
Gramedia dan Elex umum menerima berbagai jenis naskah. Namun mereka juga punya kuota tertentu untuk menerimanya. Tidak seperti Dengeki Bunko atau Kadokawa Corporation yang menerima berbagai macam naskah dari romance comedy hingga fantasi, penerbitan di Indonesia lebih terkompresi pada beberapa jenis naskah saja. Yang selalu diterima adalah novel cinta, kehidupan penuh kesulitan, konflik pasangan yang tidak jadi menikah, mimpi tak kesampaian, dan jenis cerita kontemporer lainnya. Kalau saya lebih suka menulis fiksi Jepang. Saya punya impian untuk menulis light novel di Jepang juga suatu saat nanti. Jumlah penerbit dan jenis cerita yang menerima naskah penulis juga mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan kepenulisan. Kondisi itu sukar diikuti para pemula. 


6. Kelemahan Status

Status bisa juga disebut sebagai pedang. Status yang tinggi bisa membuat seorang penulis bisa menembus meja redaksi lebih mudah. Layaknya pedang tajam dengan bilah berkilau yang mampu memotong apa pun di hadapannya. Penulis yang sudah berkali-kali menghasilkan karya brilian lebih enteng mendapatkan notice redaksi.
Tetapi, tidak untuk para amatiran. Karena para pemula belum pernah menerbitkan satu pun karya, sulit bagi mereka untuk mencapai meja redaksi dan mendapat perhatian pembaca. Apalagi bagi mereka yang tidak terkenal sama sekali. Percaya atau tidak media sosial juga bisa jadi pendongkrak status seorang penulis. Punya banyak follower di Twitter akan jadi satu keuntungan tertentu pada status seorang penulis. Namun, untuk mereka yang pasif dan tidak terlalu menyukai media sosial, hal itu sulit sekali. Status bisa saja membuat seorang penulis tidak percaya akan ada keberhasilan di depannya. 


7. Tidak Sabaran Pada Waktu Tunggu

Poin terakhir adalah salah satu bom paling mematikan dalam hati para pemula. Redaksi penerbitan punya kesibukan yang tidak terhenti setiap hari. Itu karena mereka selalu dapat kiriman naskah setiap harinya. Gramedia merupakan satu dari sekian banyak penerbit dengan masukan naskah terbanyak. Dari situ semua penulis pasti tahu kalau akan ada kemungkinan kalau naskah mereka tidak akan mungkin bisa dikabari diterima atau ditolak secara cepat. Waktu tunggu hasil review meja redaksi umumnya berkisar pada 2-7 bulan. Waktu selama itu akan jadi kesempatan yang bagus bagi para pemula untuk mulai menulis cerita lain lagi dan dikirimkan ke penerbit lain sebenarnya. Tapi, kebanyakan dari para pemula cenderung kehabisan ide setelah menyelesaikan naskah awal mereka. Itu membuat mereka jadi resah dan tidak sabaran untuk menunggu hasil pada naskah yang telah terkirim tersebut, kemudian berakhir membuat mereka mengeluarkan keputusan untuk mengirim naskah yang sudah jadi tersebut ke penerbit lain dengan kriteria serupa, berharap kalau naskah mereka tidak perlu menunggu lama jika pada penerbit sebelumnya ditolak. Hal itu merupakan kesalahan telak. Keresahan seorang penulis akan menghambat otak mereka untuk berpikir dan menemukan ide baru. Masalah itu selalu dilupakan para penulis pemula.

Beberapa poin tersebut adalah penyakit rawan yang sukar dihilangkan dari para penulis amatir. Saya juga mengalaminya. Orang-orang sering bilang kalau menulis itu mudah. Tapi sebenarnya hal tersebut tidak selalunya begitu. Ada banyak sekali kesulitan dan masalah yang tidak mudah untuk dihadapi dalam tahap menulis. Terutama jika itu penulis pemula. Menulis itu memang mudah. Tapi membuat sebuah tulisan yang sesuai ekspektasi itu sulit. Jalan menuju kegemilangan sebagai penulis tidak ringan untuk ditanjak. Ada banyak halangan dan pesaing di depan serta di belakang. Mereka yang tidak punya ketenangan, pengendalian diri dan mental baja tidak akan mungkin bisa sukses sebagai penulis. Saya belajar banyak dari kegagalan tersebut.
Yah, sulit meraih langit jika kita tidak bisa terbang. Sebenarnya, secara logika sih manusia memang tidak bisa meraih langit. Tapi, impian itu bisa diraih. Yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan idaman itu tidak banyak. Memang rumit, tapi, bukan berarti mustahil selagi itu memang masuk akal. Doa, usaha, dan terus belajar agar bisa lebih baik lagi adalah kunci utama kesuksesan. Menjadi penulis juga seperti itu. Saya juga begitu. Saya juga masih berjuang agar bisa menjadi penulis terpandang yang bisa menyebarkan ilmu dan opini bermanfaat pada para penikmat fiksi. Saya masih bernapas dengan impian itu di kepala. Biar pun banyak sekali kesulitan dalam menjalaninya.

Sekian dulu :) 
Semoga artikel ini bermanfaat :3

Gambar didukung oleh Google.