Menulis sudah jadi semacam hobi
bagi kebanyakan manusia. Walaupun mereka jarang menyadarinya. Mereka yang suka
banget bikin status di media sosial dan mengkritik sebuah wacana di situs web
atau pun menyusun diary adalah beberapa contoh dari kebiasaan gemar menulis yang
jarang disadari. Memang benar, menulis itu adalah hal menyenangkan yang jarang
sekali buat orang bosan dengannya. Soalnya kalau kita nulis, hal yang disebut
batas itu bisa ditembus dan tidak dihiraukan sama sekali. Monster dalam
dunia fantasi bisa hidup, orang-orang pendiam secara ajaib menyuarakan idenya tanpa
malu, mimpi di masa lalu mampu diwujudkan, dan sebagainya. Novelis, cerpenis, blogger,
wartawan, dan penulis-penulis lain udah buktiin semua itu.
Yaa, tapi, biar pun
menyenangkan, menulis itu bukan sesuatu yang selalu bisa dianggap mudah untuk dilakukan. Terutama bagi mereka yang pengen jadi novelis—seperti saya :3
Melalui banyak pengalaman di dunia nyata, saya pun akhirnya sadar kalau ternyata jalan untuk menjadi penulis terkenal itu sangat sulit untuk ditanjak. Bahkan, perlu dengan perjuangan menyakitkan. Kesulitannya ada di tahap mengerikan.
Dari sini saya ingin berbagi beberapa masalah yang sering sekali saya alami—serta teman-teman pemula lainnya—dalam menjalani hari-hari untuk mencapai puncak sebagai penulis profesional.
Berikut adalah beberapa kesulitan yang sering sekali dialami penulis amatir, atau tahap awal, yang tidak pernah lepas dari hari-hari kepenulisan mereka (kami) dan tak jarang membuat para penulis amatir mulai berhenti untuk menulis. Masalah ini umum terjadi pada mereka yang menargetkan naskahnya ke penerbit mayor.
1. Menentukan Topik
Dari sini saya ingin berbagi beberapa masalah yang sering sekali saya alami—serta teman-teman pemula lainnya—dalam menjalani hari-hari untuk mencapai puncak sebagai penulis profesional.
Berikut adalah beberapa kesulitan yang sering sekali dialami penulis amatir, atau tahap awal, yang tidak pernah lepas dari hari-hari kepenulisan mereka (kami) dan tak jarang membuat para penulis amatir mulai berhenti untuk menulis. Masalah ini umum terjadi pada mereka yang menargetkan naskahnya ke penerbit mayor.
1. Menentukan Topik

Topik
sama seperti bunga. Ada banyak ragam dan bentuknya. Variatif. Karena
terlalu banyak terkadang para penulis kebingungan topik apa yang harus dipakai
pada cerita mereka. Penulis-penulis awal—seperti saya sendiri—selalu punya
kesulitan pada tahap ini—menentukan topik.
Banyak
pertimbangan yang dilakukan ketika memikirkan suatu topik. Primernya pada
target pasar dan ketenaran topik itu sendiri. Penerbitan di Indonesia sendiri
jamak condong kepada topik tentang percintaan dan kehidupan. Hal-hal yang
menyangkut keseharian masa remaja, cinta tak terbalas, masa lalu hadir
kembali, konflik cinta segi tiga dan bla bla bla bla... adalah topik yang sering diterbitkan. Adalah satu
virus penting bagi penerbitan Indonesia untuk memasukkan kisah cinta penuh
intrik dan konflik ke dalamnya.
Penulis pemula tidak bisa dengan mudah untuk mengikuti aturan tersebut. Mereka yang lebih suka dengan topik seperti kisah fantasi atau moralitas sukar mendapat persetujuan penerbitan dari penerbit karena tidak cocok. Tentu saja,
selain karena masih amatir—alias tidak dikenal—topik yang digunakan
pada cerita juga menimpangi tuntutan pasar. Penulis amatir harus paham
benar topik seperti apa yang dibutuhkan para pembaca. Poin itu sangat berat
untuk dipertimbangkan.
2. Style Bahasa
2. Style Bahasa
Bahasa adalah punca dari jalannya suatu cerita. Penggunaan kalimat dan susunannya akan menentukan ketertarikan para pembaca. Style Bahasa sendiri berperan penting pada ingin atau tidaknya pembaca menengok tulisan seorang penulis. Ada tipe orang yang lebih suka menulis dengan bahasa baku—saya salah satunya—dan ada juga yang lebih suka menulis dengan bahasa gaul atau trendy.
Pemilihan
cara menggunakan jenis bahasa adalah satu dari kesulitan besar yang sering
dialami para pemula. Katakan, bahasa seperti apa yang lebih enak untuk dibaca?
Bahasa baku seperti ini, bahasa gaul dengan dialek 'loe gua', bahasa dengan
model ke-Jawa-Jawa-an atau bahasa dengan tambahan bunga-bunga alay? Jika itu
saya, saya lebih suka pada penulisan bahasa baku yang teratur dan santai,
daripada bahasa gaul atau alay. Menurut saya itu pilihan terbaik dari suatu
tulisan. Tapi, tentu saja, semua orang punya pilihannya masing-masing. Ada yang bilang kalau bahasa baku itu terlalu keras dan indirek. Kesannya jadi kaku
kalau dibaca. Dan itu tidak cocok pada novel remaja.
Menentukan
jenis bahasa pada suatu cerita adalah hal yang sangat perlu dipertimbangkan. Karena itu berpengaruh besar dari menarik atau tidaknya suatu cerita disampaikan.
3. Kekayaan Diksi
3. Kekayaan Diksi
Suatu tulisan tentu saja harus punya variasi kata. Banyak penulis menggunakan konsep assonance dan ritme untuk membuat tulisan mereka jadi lebih menarik dan puitis. Kekayaan jenis kata yang digunakan dalam suatu cerita bisa membuat suatu cerita tidak membosankan. Sebaliknya, jika suatu cerita terlalu banyak menggunakan kata-kata serupa dari tiap paragraf ke paragraf, maka cerita itu bisa saja terlihat sangat tidak variatif dan menjengkelkan. Repetisi adalah penyakit yang jamak terjadi pada tulisan para pemula. Mereka yang tidak memiliki gudang kata masif akan membuat tulisan mereka tampak sangat membosankan. Untuk mulai menulis, seseorang memang perlu hendaknya membaca banyak tulisan terlebih dahulu. Dengan begitu maka akan ada banyak kosa kata yang bisa dipelajari. Sayangnya, para pemula sering melupakan prosedur ini.
4. Target Halaman

Tapi, jika
kita pindah pada pembaca pula, kasusnya akan kontradiktif. Penulis lebih
cenderung untuk menulis panjang. Tetapi para pembaca lebih suka dengan cerita
dengan jumlah halaman yang tidak terlalu banyak—terutama jika itu para remaja.
Jumlah halaman buku yang sering dipilih berkisar pada ±100-300 halaman saja.
Remaja di Indonesia tidak terlalu suka dengan buku-buku berhalaman tebal. Untuk
menyamai preferensi tersebut, kebanyakan penulis pemula tidak bisa
melakukannya.
5. Penerbit Yang Cocok
5. Penerbit Yang Cocok

Gramedia dan Elex umum menerima berbagai jenis naskah. Namun mereka
juga punya kuota tertentu untuk menerimanya. Tidak seperti Dengeki Bunko atau
Kadokawa Corporation yang menerima berbagai macam naskah dari romance comedy hingga fantasi, penerbitan di Indonesia lebih terkompresi pada beberapa jenis
naskah saja. Yang selalu diterima adalah novel cinta, kehidupan penuh kesulitan,
konflik pasangan yang tidak jadi menikah, mimpi tak kesampaian, dan jenis
cerita kontemporer lainnya. Kalau saya lebih suka menulis fiksi Jepang. Saya punya impian untuk menulis light novel di Jepang juga suatu saat
nanti. Jumlah penerbit dan jenis cerita yang menerima naskah penulis juga
mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan kepenulisan. Kondisi itu sukar diikuti para pemula.
6. Kelemahan Status
6. Kelemahan Status
Status bisa juga disebut sebagai pedang. Status yang tinggi bisa membuat seorang penulis bisa menembus meja redaksi lebih mudah. Layaknya pedang tajam dengan bilah berkilau yang mampu memotong apa pun di hadapannya. Penulis yang sudah berkali-kali menghasilkan karya brilian lebih enteng mendapatkan notice redaksi.
Tetapi,
tidak untuk para amatiran. Karena para pemula belum pernah menerbitkan satu pun
karya, sulit bagi mereka untuk mencapai meja redaksi dan mendapat perhatian
pembaca. Apalagi bagi mereka yang tidak terkenal sama sekali. Percaya atau
tidak media sosial juga bisa jadi pendongkrak status seorang penulis. Punya
banyak follower di Twitter akan jadi satu keuntungan tertentu pada
status seorang penulis. Namun, untuk mereka yang pasif dan tidak terlalu
menyukai media sosial, hal itu sulit sekali. Status bisa saja membuat seorang
penulis tidak percaya akan ada keberhasilan di depannya.
7. Tidak Sabaran Pada Waktu Tunggu
7. Tidak Sabaran Pada Waktu Tunggu

Beberapa
poin tersebut adalah penyakit rawan yang sukar dihilangkan dari para
penulis amatir. Saya juga mengalaminya. Orang-orang sering bilang kalau menulis itu
mudah. Tapi sebenarnya hal tersebut tidak selalunya begitu. Ada banyak sekali
kesulitan dan masalah yang tidak mudah untuk dihadapi dalam tahap menulis.
Terutama jika itu penulis pemula. Menulis itu memang mudah. Tapi membuat sebuah
tulisan yang sesuai ekspektasi itu sulit. Jalan menuju kegemilangan sebagai
penulis tidak ringan untuk ditanjak. Ada banyak halangan dan pesaing di depan
serta di belakang. Mereka yang tidak punya ketenangan, pengendalian diri dan
mental baja tidak akan mungkin bisa sukses sebagai penulis. Saya belajar banyak dari
kegagalan tersebut.
Yah,
sulit meraih langit jika kita tidak bisa terbang. Sebenarnya, secara logika sih manusia memang tidak bisa meraih langit. Tapi, impian itu bisa diraih. Yang
diperlukan untuk mencapai keberhasilan idaman itu tidak banyak. Memang rumit,
tapi, bukan berarti mustahil selagi itu memang masuk akal. Doa, usaha, dan terus
belajar agar bisa lebih baik lagi adalah kunci utama kesuksesan. Menjadi
penulis juga seperti itu. Saya juga begitu. Saya juga masih berjuang agar
bisa menjadi penulis terpandang yang bisa menyebarkan ilmu dan opini bermanfaat pada para penikmat fiksi. Saya masih bernapas dengan impian itu di
kepala. Biar pun banyak sekali kesulitan dalam menjalaninya.
Sekian dulu :)
Sekian dulu :)
Semoga
artikel ini bermanfaat :3
Gambar didukung oleh Google.
Gambar didukung oleh Google.